Loading
Ger van Braam, 1963

Keberadaan Ger menghantam catatan sejarah seperti petir di tengah malam yang gelap.

Bayangkan, lesbian pertama yang muncul di sampul majalah lesbian di Amerika Serikat adalah... seorang perempuan Indonesia?

Sungguh bagaikan fiksi. Kisah sejarah yang fantastis ketika dibayangkan oleh kita yang hidup di masa sekarang. Namun, foto ini membuktikan, di situlah Ger, duduk santai di kasurnya dan memandang ke luar bingkai, mungkin ke arah Rora, temannya.

Ger, difoto oleh Rora, 1963, diterbitkan The Ladder, vol. 9 no. 2 November 1964

Tetapi di foto ini Ger juga memandang ratusan perempuan lesbian di seluruh Amerika Serikat, pembaca majalah The Ladder. Perempuan-perempuan yang tidak akan pernah ditemuinya, yang terhubung dengan kisahnya dari jauh — kisah tentang isolasi dan kerinduan sekaligus, seiring berjalannya waktu, cinta dan persahabatan.

Tapi, siapa gerangan kah Ger? Dan bagaimana dia bisa menjadi sampul majalah di belahan dunia yang jauh?

Sejak Queer Indonesia Archive (QIA) mengetahui keberadaan Ger, kami telah mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Dengan bantuan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, kami mengumpulkan gambaran kisah hidup Ger selengkap yang kami bisa dapatkan.

Pameran ini menjelajahi kehidupan Ger van Braam melalui serangkaian korespondensi surat antara dia dan Barbara Gittings — yang saat itu adalah editor majalah lesbian The Ladder. Surat pertama dalam korespondensi ini dituliskan pada tahun 1963, sementara surat terakhirnya dituliskan pada paruh terakhir tahun 1964. Surat-surat ini menelusuri periode transisi yang krusial, baik bagi Indonesia maupun diri Ger. Kami membagikan surat-surat ini dengan harapan untuk dapat berkontribusi, dengan cara kami sendiri, dalam memenuhi keinginan Ger agar kisahnya tersebar dan dapat membantu orang-orang menghindari isolasi yang pernah dialaminya.

Untuk menghembuskan sebuah nyawa baru ke dalam kata-kata Ger, tim QIA bekerja sama dengan berbagai komunitas perempuan lesbian, biseksual, dan queer di Indonesia saat ini. Kami mengundang anggota komunitas untuk membacakan surat-surat Ger dengan lantang. Suara mereka memberi nafas baru pada kata-kata Ger. Kami juga mengundang mantan anggota organisasi hak lesbian nasional pertama di AS, Daughters of Bilitis, dan Lesbian Herstory Archive untuk menghidupkan kembali kata-kata Barbara Gittings. Persahabatan Ger dan Barbara adalah jembatan antara dua dunia. Keduanya berjuang untuk memperluas kemungkinan yang terbuka bagi semua perempuan. Anda bisa menemukan video dan rekaman suara dari perempuan-perempuan luar biasa ini di seluruh pameran

Kami berterima kasih kepada Saskia, Kai, Paula, Rebecca, Diah, Joan, Indira, Lette, dan Yuli atas kontribusinya. Tanpa bantuan kalian, pameran ini tidak akan mungkin dibuat.

Surat dari Barbara Gittings ke Ger van Braam, 27 Oktober 1963. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Surat pertama dalam pameran ini ditulis oleh Barbara kepada Ger sebagai tanggapan untuk penerbitan cerpen karya Ger di majalah The Ladder, yang berjudul A Dope (Seorang Bodoh).

Berbagai sampul majalah The Ladder, Daughters of Bilitis, Inc., San Francisco

Diterbitkan pertama kali pada tahun 1956, The Ladder adalah publikasi lesbian pertama yang didistribusikan secara nasional di Amerika Serikat. Majalah ini merupakan publikasi utama dan alat komunikasi bagi organisasi Daughters of Bilitis.

Organisasi ini menggunakan sistem berbasis desentralisasi dengan berbagai cabang lokal untuk memungkinkan kelompok-kelompok lesbian berkumpul dan menanggapi masalah-masalah lokal di tempat tinggal mereka masing-masing. Kelompok pendiri berbasis di San Francisco, dengan cabang-cabang berikutnya didirikan di New York City, Los Angeles, Chicago, dan Rhode Island. Barbara Gittings adalah salah satu pendiri chapter New York City, dia menjadi presiden cabang New York dari tahun 1958 hingga 1961.

Setelah masa kepemimpinannya, Barbara menjadi editor The Ladder dari tahun 1963 hingga 1966. Melalui surat-menyurat dengan Barbara, Ger membangun hubungan pribadinya dengan The Ladder.

Barbara Gittings adalah tokoh kunci dalam gerakan gay dan lesbian di Amerika Serikat. Dia adalah seorang aktivis yang vokal. Barbara dan pasangannya, Kay Tobin, memiliki dampak yang besar pada keberhasilan gerakan pembebasan gay dan lesbian di Amerika Serikat selama tahun 60-an dan 70-an. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Barbara dan kiprahnya, silakan lihat bagian Bacaan Lanjutan di akhir pameran ini.

Barbara Gittings merencanakan The Ladder pada December 1964 - edisi May 1965. Foto oleh Kay "Tobin" Lahusen. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Bagi QIA, Barbara adalah seorang pustakawan terlatih yang sadar akan pentingnya dokumentasi dan pencatatan. Surat-surat yang ditampilkan dalam pameran ini ditemukan dalam koleksi berkas milik Barbara yang saat ini disimpan di Perpustakaan Kota New York.

A Dope, diterbitkan di The Ladder, August, 1963

Cerpen perdana Ger di The Ladder mencerminkan ketertarikannya pada bandara dan para penumpang pesawat. Cerita ini bercerita tentang seorang pramugari Pan Am yang berkenalan dan masuk ke dalam kehidupan seorang seniman pemalu yang merindukan tulusnya cinta. Tema ini cukup sering diangkat Ger dalam tulisannya, hal ini mencerminkan perjuangannya sendiri. Tetapi tema ini juga menjadi penanda betapa banyak perubahan yang dialaminya dalam beberapa tahun berikutnya.

Letter dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 10 November 1963. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Berbeda dengan balasan Barbara yang singkat dan semi-formal, tanggapan Ger dipenuhi ungkapan perasaan yang melimpah. Kisah pribadinya yang dibagikan dalam surat tersebut mencerminkan tekanan besar untuk menikah dan mematuhi harapan sosial. Surat ini juga menyoroti bagaimana pendidikan dan kemandirian ekonomi memungkinkan seseorang untuk melawan norma budaya dan sosial. Ger dapat meninggalkan suaminya dan "memutus hubungan" dengan keluarganya karena memiliki pendidikan dan kemampuan untuk mencari nafkah melalui pekerjaannya yang memampukannya untuk memiliki tempat tinggalnya sendiri.

Deskripsi Ger tentang isolasi intens yang dia alami mengingatkan kita bahwa konsep homoseksualitas seringkali tidak dapat terucap. Akibatnya, seseorang tidak memiliki cara untuk memahami dan mengungkapkan perasaan dan hasratnya. Ketidakmampuan memahami keinginan kita, ketika kita belum memiliki kata-kata untuk mengungkapkannya, atau bagaimana membayangkan cara hidup yang belum pernah kita lihat, bisa jadi sangat menakutkan bagi sebagian orang. Bagi Ger, jawaban tentang kehidupan yang mungkin dialaminya datang dalam bentuk novel.

Dua sampul buku The Price of Salt by Patricia Highsmith, mungkin adalah sampul yang disebutkan di A Dope

Dalam cerita pendeknya yang berjudul A Dope dan dalam surat ini, Ger menyoroti novel The Price of Salt karya Patricia Highsmith sebagai momen pencerahan. Diterbitkan pada tahun 1952, roman ini adalah salah satu dari sedikit buku tentang roman lesbian pada masa itu yang tidak berakhir tragis. Fiksi populer dalam bahasa Inggris tentang romansa gay atau lesbian sangat digemari pada tahun 1950-an. Tetapi umumnya novel-novel ini selalu berakhir dengan tragedi — isolasi, pembunuhan, atau bunuh diri.

Sebaliknya, The Price of Salt menawarkan pembaca kemampuan untuk membayangkan masa depan yang lebih bahagia. Novel ini juga menampilkan kedua karakternya yang mematuhi konvensi gender feminin, menantang konsep lesbian sebagai 'gender terbalik' dan stereotip butch-femme yang mendominasi representasi pada masa itu. Novel ini diterbitkan ulang dengan judul Carol, dan menjadi inspirasi film dengan judul yang sama yang dirilis pada tahun 2015. Film ini tidak naik layar di Indonesia, tetapi pemutaran lepas film ini memungkinkan komunitas lokal memahami ulang novel tersebut.

Poster pemutaran gratis film Carol di Jakarta, Indonesia yang diadakan oleh Suara Kita

Seperti yang disoroti oleh Ger, materi dengan konten intim atau romantis homoseksual di Indonesia sangat terbatas, dan sebagian besar materi yang ada mewakili orang-orang Barat. Perjuangan ini masih berlanjut hingga saat ini dengan adanya sensor dan pengekangan terhadap cerita-cerita yang mewakili komunitas LGBTIQ+ di Indonesia.

Surat dari Barbara Gittings ke Ger van Braam, 25 April 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Balasan dari Barbara datang beberapa bulan setelah surat terakhir yang dikirim oleh Ger. Karena tidak mendengar kabar dari Barbara, Ger mengirimkan beberapa karyanya kepada The Ladder (sayangnya kami tidak dapat menemukan karya-karya tersebut).

Barbara terlihat kesulitan menemukan kata-kata untuk merespons perasaan yang dituangkan Ger. Ia memulai dengan menjelaskan bahwa surat Ger adalah pengingat tentang situasi perempuan lesbian di penjuru dunia, bukan hanya konteks Amerika Serikat yang menjadi fokus Daughters of Bilitis. Menyadari dampak cerita Ger pada pembaca lainnya, Barbara meminta izin untuk menerbitkan surat-surat Ger di The Ladder.

Melalui inisiatifnya untuk menerbitkan surat-surat Ger, dan pada surat-suat seterusnya, Barbara menunjukkan etos kerja yang mendukung gerakan lesbian global. Meskipun gerakan gay dan lesbian di Barat baru muncul dalam skala besar setelah Stonewall pada tahun 1968, pada awal 1960an terdapat gerakan di Amerika Serikat yang menggunakan istilah 'homofilia'. Istilah ini sendiri merupakan upaya untuk menghindari implikasi klinis tentang patologi seksual yang terkait dengan kata homoseksual, dengan menekankan cinta (filia) sebagai imbuhan pengganti 'seksual'. Meskipun istilah ini tidak terlalu dikenal sekarang, pada saat itu homofilia sangat erat kaitannya dengan perjuangan penerimaan homoseksualitas di masyarakat.

Barbara juga memberitahu Ger bahwa langganan The Ladder-nya diperpanjang oleh seorang donor anonim. Pada saat itu, langganan tahunan The Ladder seharga US$4 . Meskipun Ger berasal dari keluarga kaya, pada tahun 1960-an Indonesia mengalami hiperinflasi, dengan tingkat inflasi rata-rata di atas 100% - hal ini sangat mempengaruhi daya beli warga Indonesia untuk membeli barang-barang dari luar negeri.

Surat Barbara juga mencerminkan perubahan politik dalam gerakan lesbian di Amerika pada masa itu. Ia menyebutkan keinginannya untuk meningkatkan visibilitas, dan memamerkan foto seorang lesbian di sampul majalah.

Di dalam suratnya, Barbara menyebut mengenai pasangannya, Kay, sebagai "temanku". Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam surat pribadi, hubungan romantis seringkali ditutupi.

Barbara Gittings dan Kay "Tobin" Lahusen di pesta pada pertengahan 1970an. Foto oleh Harry R. Eberlin. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library
Surat dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 5 Mei 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, The New York Public Library.

Ger menulis surat ini dengan semangat dan energi yang baru. Hilang sudah rasa isolasi yang berat seperti pada surat pertamanya. Ger merespons permintaan Barbara dengan semangat yang segar. Beberapa bulan sejak menulis surat pertamanya, Ger telah lepas dari isolasi. Ia kini memiliki pacar serta beberapa teman gay dan lesbian.

Ia juga membuka diri tentang keluarga dan latar belakangnya. Kini kita tahu bahwa Ger lahir di Batavia (Jakarta) pada tanggal 31 Agustus 1927. Ia adalah putri dari Johannes Marius van Braam III dan Lucie Anthonio, keduanya memiliki campuran keturunan Indonesia-Eropa.

Ger dan tujuh saudarinya di perkebunan keluarga mereka di Jenar, Jawa Tengah. Ger berada di ujung kanan. Kira-kira tahun 1933. Sumber foto: Egbert Fortuin

Masa remaja Ger diwarnai oleh konflik dan peralihan sosiopolitik yang besar. Pada usia 23, ia telah menyaksikan jatuhnya dominasi kolonial Belanda, invasi dan penjajahan Jepang di Indonesia, deklarasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dan agresi militer Belanda dalam upaya rekolonisasi Indonesia. Perang dan konflik selama hampir satu dekade akhirnya berakhir pada tanggal 27 Desember 1949 dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.

Pada saat surat ini ditulis, kemerdekaan Indonesia baru diakui oleh Belanda selama 14 tahun. Setelah berakhirnya agresi Belanda di Indonesia pada tahun 1949, hubungan diplomatik antara kedua negara berangsur normal. Pada awal tahun 1950-an, warga yang memiliki tercatat sebagai keturunan Belanda ditawari migrasi ke Belanda. Mereka secara resmi dianggap sebagai warga negara Belanda berdasarkan hukum. Ger memilih untuk tetap tinggal di Indonesia, tempat dia lahir dan satu-satunya negara yang ia kenal. Ger memilih kewarganegaraan Indonesia secara resmi pada tanggal 12 November 1951.

Dokumen Kewarganegaraan Indonesia Ger, 1951. Mikrofilm dari dokumen asli di Nederland Ministerie van Justitie

Dalam surat ini, Ger menjelaskan bagaimana status kewarganegaraan telah memecah keluarganya ke dua benua. Karena semua kakak dan adik Ger adalah perempuan, banyak keputusan terkait kewarganegaraan di keluarganya yang ditentukan oleh kewarganegaraan pria yang mereka nikahi. Karena itu, tiga saudaranya telah pindah ke Belanda walau mereka tidak pernah melihat negeri tersebut sebelumnya.

Ger juga secara singkat membicarakan tentang "klub perempuan" kelas atas sebagai tempat aktivitas lesbian situasional. Ger menceritakan hal ini santai, yang menggambarkan bahwa hal ini adalah sesuatu yang umum ditemukan. Informasi tentang fenomena ini, yang ditulis secara sambil lalu, mengingatkan kita akan betapa sedikitnya pengetahuan kita tentang kebiasaan di masa lalu yang tak terucapkan. Betapa sedikit wawasan yang kita miliki tentang dunia pribadi lesbian di masa lampau.

Awal dari akhir isolasi Ger adalah pertemuannya dengan seorang pramugari Shell bernama Rora (yang ternyata menjadi inspirasi bagi ceritanya di The Ladder). Rora mengakhiri isolasi Ger dan memberinya wawasan tentang dunia laki-laki gay yang hidup dengan terbuka di dalam kelas sosial mereka. Ger menjelaskan kekagetannya terhadap nonkonformitas gender teman-teman gay barunya, sedangkan mereka terkejut dengan konformitas gender Ger. Meskipun awalnya sangat antusias, ia menggambarkan kekecewaannya terhadap pria-pria tersebut dan obsesi mereka terhadap seks. Ger mengungkapkan keinginannya menjalin hubungan sesama perempuan yang sesuai dengan standar monogami dan kebiasaan romantis di masyarakat pada masa itu.

Ger juga memulai sebuah hubungan romantis. Saat bertemu dengan seorang perempuan bernama Hetty (saat itu masih bersuami) di sebuah pesta, Ger dengan cepat jatuh cinta. Meskipun Hetty memiliki suami dan anak, Hetty membalas perasaan Ger. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan suaminya dan melepaskan hak asuh anaknya. Ger dan Hetty bersedia membongkar kehidupan mereka demi tinggal bersama-sama. Ini terjadi dengan sungguh luar biasa cepat dan intens.

Setelah mengakhiri isolasinya, Ger menyatakan bahwa keinginannya meninggalkan Indonesia sudah hilang. Sekarang, ia berkomitmen untuk membantu mengakhiri isolasi orang-orang yang senasib dengan dirinya.

Surat dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 8 Mei 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, The New York Public Library.

Ger melanjutkan suratnya pada Barbara dengan surat lain yang dikirim hanya tiga hari kemudian. Surat ini menambahkan detail tentang hubungan Ger dengan keluarganya. Ger menceritakan pertemuannya kembali dengan keluarganya setelah mengakhiri pernikahannya dan memutus hubungan dengan keluarganya selama setahun.

Hubungan Ger dengan keluarganya penting bagi kedudukan sosialnya. Keluarga Ger mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan sosial dari sistem kolonial Belanda. Orang-orang keturunan campuran Asia dan Eropa yang diakui secara sah, dikenal sebagai Eurasia atau Indos, dianggap sebagai bagian dari orang Eropa dalam sistem kolonial yang dibagi berdasarkan ras. Keistimewaan ini yang memungkinkan Ger memiliki akses pendidikan dan keamanan ekonomi. Ras juga lah yang membuat Ger dan keluarganya menjadi sasaran pasukan Jepang dan kekerasan anti-Belanda pada masa konflik.

Keistimewaan ini, dan internalisasi Ger terhadap sistem rasial, diceritakannya secara eksplisit dalam deskripsinya tentang obrolan antara dirinya dan seorang perempuan Perancis yang sedang mengunjungi Indonesia. Setelah berkenalan dengan Ger, perempuan Perancis itu menjelaskan kepada Ger bahwa dia dan teman-temannya terlibat dalam pariwisata seks. Mereka mengunjungi Bali untuk merayu dan berhubungan dengan perempuan lokal. Bagi Ger, berhubungan intim dengan "kelas bawah" adalah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan. Tetapi bagi perempuan Perancis ini, itu merupakan fitur utama daya tarik Bali. Pertemuan ini mencerminkan gambaran Bali dalam imajinasi Barat sebagai surga eksotis dan erotis - seperti di poster-poster promosi Bali di Eropa awal abad ke-20 yang menggambarkan perempuan Bali tanpa baju.

Penggambaran Bali pada awal abad ke-20 sebagai tempat yang eksotis dan erotis

Pertemuan Ger dengan perempuan Perancis ini ibarat sebuah adaptasi dari cerita A Dope yang dia tulis. Seorang asing menawarkan Ger akses ke relung khusus dunia lesbian, tetapi Ger dengan tenang menolaknya. Ia hanya terhibur dan tertarik oleh keberanian dan kelugasan teman barunya. Perlu dicatat juga penggunaan istilah ducky, istilah slang Polari dari Inggris. Polari adalah sistem slang gay Inggris yang mempengaruhi bahasa mengenai homoseksualitas pada pertengahan abad ke-20.

Surat Ger juga menjelaskan secara detail teorinya bahwa intensitas dunia sosial sesama jenis di Indonesia menyebabkan banyaknya pertemuan antara orang-orang homoseksual. Fenomena ini kerap diangkat dalam penelitian antropologis di Indonesia, dan mengungkapkan seberapa sedikit pengetahuan kita tentang hubungan dan cinta sesama jenis di Indonesia sepanjang abad ke-20.

Surat dari Barbara Gittings ke Ger van Braam, 14 Agustus, 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Pada surat keenam, Barbara menerima oleh-oleh dari Ger, yang menjadi bagian dari koleksi kenang-kenangan Barbara (di sini Barbara menggunakan istilah antik untuk menggambarkan Orang Asli dari Wilayah Arktik). Surat pertama Ger tentang kesepian dan isolasinya di Indonesia mendapatkan respon yang kuat dari banyak perempuan lesbian dari seluruh dunia. Surat tersebut menjadi salah satu segmen yang paling banyak dikomentari oleh pembaca The Ladder. Ketertarikan dari pembaca yang tidak disangka-sangka terhadap cerita Ger begitu kuat. Hal ini mendorong Barbara mengusulkan pada Ger untuk mempublikasikan surat-suratnya yang lain dan memberi kesempatan bagi pembaca untuk mengikuti kisahnya. Termasuk kisah tentang Rora dan Hetty. Selain itu, Barbara menanyakan apakah Ger berkenan jika fotonya digunakan sebagai sampul The Ladder.

Karena pembaca The Ladder adalah kelompok yang tertutup dari masyarakat awam, jauh dari media mainstream, Ger dapat muncul di The Ladder dan tetap menjaga anonimitasnya di kehidupan sehari-hari. Foto Ger dapat dipublikasikan sebagai sampul majalah, dan kemungkinan besar tidak akan ada rekan, kerabat, atau keluarganya yang melihat majalah tersebut. Jarak geografis antara Ger di Indonesia dan redaksi The Ladder di Amerika Serikat menciptakan lapisan perlindungan lainnya. Situasi ini, di mana seseorang bisa terkenal dalam sebuah subkultur dan tetap menjadi orang biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka, adalah sesuatu yang semakin menghilang seiring dengan popularitas internet dan media sosial. Peredaran media cetak lebih mudah dikontrol, sehingga lebih kebocoran publikasi queer ke luar komunitas lebih jarang terjadi.

Menarik juga untuk dicatat bahwa satu buku yang secara khusus disebut oleh Barbara dalam surat ini adalah The Second Sex karya Simone de Beauvoir. Buku ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1949 dengan judul asli Prancisnya, Le Deuxiéme Sexe, adalah publikasi yang kontroversial. Dianggap sebagai salah satu inspirasi untuk feminisme gelombang kedua, buku ini dilarang oleh Vatikan dan Spanyol pada saat surat ini ditulis.

Surat dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 5 May 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Ger dengan antusias menyetujui usul Barbara untuk menjadi sampul The Ladder, dan surat-suratnya yang lain juga akan dipublikasikan di majalah tersebut. Ger yakin bahwa orang-orang dalam kehidupan sehari-harinya tidak akan pernah membaca The Ladder, dan oleh karena itu mereka tidak akan menyadari orientasi dan keterlibatan Ger di komunitas homofilik. Ger juga membahas betapa sulitnya mendapatkan buku impor dan betapa tidak efisiennya Bea Cukai Indonesia, sesuatu yang mungkin dapat dimengerti oleh pembaca Indonesia. Ger memberitahukan kepada Barbara bahwa dia, bersama Hetty dan Rora, telah pindah ke rumah baru. Dari deskripsinya, rumah baru mereka kemungkinan terletak di sekitar Jalan Raya Bogor antara Kramat Jati dan Depok. Karena jalan-jalan utama yang mengarah ke Bekasi seperti Jalan I Gusti Ngurah Rai dan Kalimalang belum dibangun pada saat surat ini ditulis. Namun, mungkin juga Ger tinggal di sepanjang Jalan Raya Bekasi yang menghubungkan Klender ke Pulogadung.

Peta Kota Jakarta 1961. Perusahaan Reproduksi dan Pertjetakan Dittop

Keberanian Ger untuk muncul di sampul The Ladder, hubungannya dengan Hetty, dan persahabatannya dengan Rora, adalah kontras yang mencolok dibandingkan cerita tentang isolasinya di surat pertama. Perasaan memiliki koneksi dengan orang-orang sepertinya, baik melalui komunikasi dengan The Ladder maupun partisipasi dengan komunitas lesbian di Jakarta, telah memberikan Ger keberanian untuk menyatakan dirinya sebagai seorang lesbian dan menjalani hidup sesuai dengan jati dirinya. Keberanian ini bahkan menginspirasi Ger untuk lebih aktif dalam perjuangan komunitas homofilik. Hingga Ger berani berbagi buku dan teori dengan perempuan lain yang dia curigai sebagai lesbian. Ger juga mengirimkan buku serupa kepada saudarinya yang menjadi kepala biarawati di sebuah susteran di Jawa Tengah. Keyakinan Ger bahwa membaca buku dan teori dapat meyakinkan perempuan yang masih menyembunyikan orientasinya untuk 'keluar dari cangkang mereka' mungkin berasal dari pengalamannya sendiri dengan seksualitasnya dan The Ladder. Hal ini juga merupakan pendekatan modernis tradisional terhadap pendidikan, di mana teori dan membaca adalah cara bagi seseorang untuk 'menggali' jati diri yang sejati.

Surat dari Barbara Gittings ke Ger van Braam, 29 Oktober 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library

Di surat ini, Barbara mengkonfirmasi bahwa dia telah menerima foto-foto Ger, Hetty, dan Rora. Sayangnya, sampai saat pameran ini diselenggarakan, foto-foto tersebut tidak kami temukan baik dalam arsip Daughters of Bilitis atau arsip Barbara. QIA berharap dapat menemukan materi tentang teman-teman Ger dan mendapat cerita-cerita dari sudut pandang mereka pada periode waktu ini.

Barbara juga meyakinkan Ger bahwa surat-suratnya, tulisannya, dan keterlibatannya dalam komunitas lesbian yang lebih luas melalui The Ladder adalah sesuatu yang penting. Setelah kemunculan Ger di sampul majalah ini, banyak perempuan yang menawarkan diri untuk menjadi sampul The Ladder. Fenomena ini memungkinkan pembaca melihat wajah-wajah komunitas mereka di seluruh negeri.

The Ladder, vol. 9 no. 2 November 1964, Daughters of Bilitis, Inc., San Francisco, November 1964

Barbara mengatakan di sebuah wawancara pada tahun 1988, “Menggunakan foto di sampul kami adalah sebuah gebrakan besar, foto-foto itu menjadi wajah kami ke dunia pada masa itu, termasuk kepada lesbian lainnya yang belum menjadi bagian pergerakan. Dan inilah pesan yang kami sampaikan: ‘Kami adalah orang-orang yang utuh, bahagia, sehat; inilah wujud kami dan kami tidak peduli apa kata dunia.’ (Gittings, 1988, DOB Video Project for the Lesbian Herstory Archives).

Dampak tulisan Ger bergema di seluruh pembaca The Ladder secara global, menunjukkan bahwa lesbian dapat ditemukan di penjuru dunia. Kisah Ger juga bergema selama bertahun-tahun. Ger telah diulas dalam beberapa publikasi dan media kontemporer yang terkait dengan sejarah lesbian seperti Library Talks podcast ini (Ger disebutkan sekitar menit ke-30) dan pameran oleh The New York Public Library.

Surat dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 8 Mei 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library.

Surat Kesembilan ini adalah surat singkat yang ditulis dengan tergesa-gesa. Ger memberi tahu Barbara tentang rencananya untuk segera pindah ke Belanda. Ger akan pindah bersama Hetty dan Rora. Rora memutuskan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara Belanda, sedangkan Hetty kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena perceraiannya. Ger akan pergi bersama Hetty, sambil mempertimbangkan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesia.

Perubahan kewarganegaraan Rora dan Hetty, yang tampaknya tidak direncanakan, bisa terjadi karena program Repatriasi Orang-Orang Indo-Belanda di Indonesia. Antara tahun 1949 hingga 1967, pemerintah Belanda mengadakan program repatriasi yang memungkinkan orang Indonesia keturunan Belanda mendapatkan kewarganegaraan Belanda.

Pembakaran Kedutaaan Besar Inggris oleh demonstran anti-Malaysia pada 1964. Diterbitkan harian Pantja Sila, 17 Agustus 1964

Keputusan Rora dan Hetty untuk repatriasi pada tahun 1964 mungkin dipengaruhi oleh iklim sosial dan politik pada masa itu. Konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia semakin memanas, para pendemo anti-Malaysia membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta pada Agustus tahun tersebut. Ekonomi Indonesia mengalami hiperinflasi antara tahun 1962 dan 1966, dengan inflasi tahunan mencapai puncaknya di atas 600% pada tahun 1966. Inflasi yang meningkat dengan cepat dan kondisi politik yang tidak stabil di Jakarta, tidak mengherankan jika seorang perempuan Indo-Belanda kelas atas seperti Ger memutuskan untuk pindah ke Belanda.

Foto demonstrasi memprotes kenaikan harga bahan-bahan pokok oleh kelompok perempuan pada tahun 1965. Foto koleksi National Archives of the Netherlands
Surat dari Ger van Braam ke Barbara Gittings, 8 Mei 1964. Disimpan oleh Divisi Manuskrip dan Arsip, the New York Public Library.

Surat terakhir Ger, Surat Kesepuluh, ditulis dalam waktu singkat setelah Surat Delapan. Rora sudah berangkat ke Belanda sementara Ger dan Hetty sedang mempersiapkan keberangkatan mereka.

Dalam surat ini, terlihat jelas konflik internal Ger tentang rencana kepindahannya. Rasa takutnya akan kekecewaan Barbara dan keinginannya untuk tetap berkontribusi kepada orang-orang yang ditemuinya di Jakarta; kegembiraannya bisa menonton media tanpa sensor dan tidak harus menghabiskan tabungannya akibat inflasi di Belanda; kejijikan dan kemarahannya terhadap pejabat pemerintah Indonesia yang korup; kesedihan meninggalkan tempat kelahirannya. Perasaan Ger mungkin juga dirasakan oleh banyak orang queer lainnya yang meninggalkan negara kelahiran mereka untuk tinggal di lingkungan yang lebih aman. Keluarga Ger mendukung keputusannya untuk meninggalkan Indonesia, mereka percaya bahwa dia memiliki masa depan yang lebih baik di Belanda.

Repatriasi orang-orang Indo-European dari Indonesia, 2 November 1964, koleksi National Archives of the Netherlands

Ger menjadi apa yang disebut spijtoptanten, seorang yang menyesal. Ini adalah sebutan untuk orang-orang yang awalnya memilih menjadi warga negara Indonesia dan kemudian mengubah pikiran dan menjadi warga negara Belanda. Ada sekitar 25,000 orang yang melakukan ini antara tahun 1949 dan 1967. Ger masuk menjadi bagian dari gelombang kelima program repatriasi, bersama orang-orang yang telah memilih kewarganegaraan Indonesia dan kemudian menyadari kalau mereka tidak dapat berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia.

Di surat ini, Ger bercerita tentang waktu dia dan keluarganya berada di kamp konsentrasi. Dari penelusuran QIA, kita tahu bahwa Ger dan keluarganya pernah ditahan dua kali dalam kamp konsentrasi selama hidup mereka.

Indonesia dijajah oleh Jepang pada bulan Desember 1941, dan pada Maret 1942 pemerintah kolonial Belanda menyerahkan Indonesia kepada pendudukan Jepang. Pasukan Jepang menyita tanah dan properti keluarga Ger. Seluruh anggota keluarga van Braam dipaksa masuk ke dalam kamp konsentrasi. Pada tahun yang sama, Ger kehilangan Ayahnya, Johannes Marius van Braam.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Saat Perang Dunia II berakhir, Ger dan keluarganya dibebaskan dari kamp konsentrasi dan dapat kembali ke tanah dan properti mereka. Kedamaian tersebut tidak berlangsung lama. Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda mengumumkan penolakan terhadap kedaulatan Indonesia dan niat mereka untuk merekolonisasi negara tersebut.

Pengumuman tentang serangan yang akan datang dari Belanda menciptakan ketegangan antara pendukung kemerdekaan Indonesia di seluruh negeri dan orang-orang yang terkait dengan Belanda dan/atau pendukung upaya Belanda untuk menjajah ulang Indonesia. Pada masa ini, banyak terjadi kekerasan yang ditujukan kepada komunitas keturunan Eurasia, Belanda, Tionghoa, dan Ambon di Jawa dan Sumatera (disebut sebagai periode Bersiap oleh Belanda).

Koleksi foto-foto yang menunjukkan propaganda pro-kemerdekaan pada awal masa Revolusi Fisik. Dari koleksi Netherlands Institute of Military History

Ger dan keluarganya ditempatkan di kamp perang untuk kedua kalinya pada tahun 1946, meskipun hal ini mungkin dilakukan demi perlindungan mereka sendiri. Dengan sentimen anti-Belanda begitu tinggi, kekerasan yang menargetkan keluarga Indo di seluruh Jawa marak terjadi. Keluarga Ger bisa menjadi target. Untuk melindungi dari kekerasan yang semakin meningkat, banyak keluarga Indo-Belanda dipindahkan ke apa yang disebut sebagai Kamp Republik - kamp di bawah kendali Tentara Indonesia. Meskipun tujuan awalnya adalah untuk perlindungan warga Indo-Belanda, kondisi di kamp tersebut keras karena kurangnya makanan dan kebersihan yang buruk. Ketika wilayah kamp tempat keluarga Ger berada dikuasai oleh Belanda, mereka dipindahkan ke Jakarta.

Di akhir surat, Ger menyebutkan bahwa dia akan bertemu dengan seorang sahabat pena dari Belanda dan mengunjungi perkumpulan yang saat itu sudah dia kenal, COC, Cultuur en Ontspanningscentrum (Pusat Kebudayaan dan Hiburan). COC didirikan pada tahun 1946 dan masih aktif di Belanda. COC adalah organisasi hak-hak LGBT+ tertua yang masih beroperasi di dunia. Saat ini, COC terlibat dalam dukungan kepada organisasi queer di Indonesia, termasuk dengan QIA.

Meskipun tim QIA belum dapat menemukan surat-surat lebih baru antara Ger dan Barbara, kami tahu bahwa Ger berhasil menyusul Rora ke Belanda. Ger tiba di negeri tulip pada akhir tahun 1964.

Ger mendapat kewarganegaraan Belanda pada tahun 1969. Di sana dia bekerja sebagai sekretaris dan akuntan. Meskipun Ger berharap untuk mendapatkan hidup mandiri di Belanda, ada banyak rintangan bagi kesuksesannya. Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Indo-Belanda membuat pendidikan dan kemampuan yang ia punya dipandang sebelah mata.

Ger di akhir tahun 60an atau awal tahun 70an. Foto dari koleksi Roos.

Ger tetap menjadi seorang seniman dan terus berkarya. Dia bertemu dengan cinta sejatinya, Roos, pada tahun 1985, mereka tinggal bersama hingga wafatnya Ger pada tahun 2010. Ia meninggal pada usia 83 tahun.

Jooske dan Ger di tahun 80an. Foto dari koleksi Roos.

Barbara menjadi editor The Ladder hingga tahun 1966. Dia tetap menjadi aktivis membela hak-hak LGBTQ+ hingga akhir hayatnya pada tahun 2007. Daughters of Bilitis, organisasi yang menerbitkan The Ladder, terus beroperasi hingga tahun 1970. Rita LaPorte dan Barbara Griers, mantan presiden dan anggota Daughters Of Bilitis, menerbitkan majalah The Ladder secara swadaya hingga September 1972.

Tim Penyusun

Kurator

Harits Paramasatya adalah anggota kolektif Queer Indonesia Archive dan salah satu pendirinya. Harits mulai mengeksplorasi identitas queer dalam sejarah sebagai seorang seniman. Karyanya yang berjudul Mengenang Khem, sebuah instalasi tentang aktivis gay fiksi memenangkan Bandung Contemporary Art Awards 4. Harits tertarik dengan representasi queer baik di seni dan sejarah. Saat ini dia bekerja sebagai UX Writer dan tinggal di Denpasar, Bali.

Beau Newham adalah penulis, aktivis, dan arsiparis komunitas. Dia memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun baik di aktivisme LGBTIQ+ dan advokasi HIV. Beau memusatkan kegiatannya di pembentukan komuntas dan storytelling. Saat ini dia tinggal di Melbourne, Australia dan bekerja di advokasi dan dukungan untuk ODHIV di Living Positive Victoria dan National Association of People With HIV Australia.

Desainer

Saundra Liemantoro adalah desainer multidisipliner. Karyanya melintasi berbagai medium seperti keramik, desain grafis, dan desain produk. — @saundra.online

Penyunting

Julia Winterflood adalah penulis, penyunting, dan penerjemah lepas yang menjadikan Indonesia rumah sejak 2014.

Sebastian Partogi (Ogi) adalah simultaneous dan consecutive interpreter, penerjemah teks dan praktisi kehumasan yang tinggal di Bali. Saat ini ia adalah konsultan media dan bahasa untuk Ubud Writers and Readers Festival, sekaligus editor buku lepasan untuk Kepustakaan Populer Gramedia. Sebelumnya ia bekerja sebagai wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post selama 8 tahun.

Penerjemah:

Kenny Masjhur adalah mahasiswi kajian budaya dengan minat pada isu gender dan queer. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan pada tingkat magister.

Ucapan Terima Kasih

Mengungkap kisah hidup Ger tidaklah mungkin dilakukan sendirian. QIA ingin mengucapkan terima kasih kepada individu dan organisasi berikut atas dukungannya untuk pameran ini.

Egbert Fortuin (1972) mempelajari Kajian Bahasa, Filsafat, dan Budaya Slavia di University of Amsterdam dan adalah profesor Bahasa dan Linguistik Rusia di Universitas Leiden. Saat ini dia sedang menulis buku tentang keluarga Indo-Belanda van Braam, yang adalah keluarga pasangannya– Aschwin. Sebuah monograf berjudul Indische adel: de koloniale lotgevallen van de familie Van Braam (Bangsawan Hindia-Belanda: Kisah Kolonial Keluarga van Braam) akan diterbitkan oleh Walburg Pers.

The GLBT Historical Society mengoleksi, merawat, memamerkan, serta memberikan akses publik pada materi dan pengetahuan untuk menciptakan pengertian tentang sejarah, budaya, dan kesenian LGBTQ dengan segala keberagamannya.

The Lesbian Herstory Archivesmengumpulkan, menjaga, dan menyediakan akses ke rekam sejarah kehidupan dan aktivitas orang-orang lesbian. Hal ini mencakup mengungkap dan mendokumentasikan sejarah lesbian yang sebelumnya dihapuskan oleh sejarawan patriarkis untuk mengusung budaya mereka. Keberadaan arsip ini memungkinkan generasi kini dan mendatang untuk menganalisis dan mengevaluasi pengalaman lesbian.

New York Public Library Manuscripts and Archives Division

QIA juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Judith Schuyf, Professor Andrew Shield, Inge De Taeye dan Eric Marcus Making Gay History, Danny Halim dan IHLIA LGBT Heritage, tim Australia Queer Archivesserta anggota Grup Facebook Dutch Genealogy yang penuh semangat.

Dan akhirnya, QIA mengucapkan terima kasih yang spesial pada pasangan Ger, Roos, yang sudah berbagi foto-foto dan cerita tentang hidupnya bersama Ger.

Bacaan Lanjutan

Barbara Gittings

Mereka yang tertarik membaca kisah hidup Barbara Gittings dan semua kiprahnya, bisa membaca buku Barbara Gittings: Gay Pioneer tulisan Tracy Baim.

Ada juga interview yang sangat menarik dengan Barbara Gittings dan Kay "Tobin" Lahusen di dua episode Making Gay History yang bisa Anda dengar di sini dan di sini.

The Ladder & The Daughters of Bilitis

Daughters of Bilitis Video Project - Proyek ini menampilkan video-video dari Lesbian Herstory Archives yang didigitasi. Tujuan proyek ini adalah mengumpulkan rekaman wawancara para pendiri dan anggota Daughter of Bilitis untuk mendokumentasikan peran penting mereka di gerakan pembebasan gay/lesbian dan juga di gerakan Hak Sipil.

Phyllis Lyon and Del Martin papers - Tulisan-tulisan Phyllis Lyon dan Del Martin membahas aktivisme mereka yang mencakup pergerakan homofilia, pembebasan gay dan lesbian, dan pergerakan hak perempuan. Materi ini mencakup dokumentasi kegiatan Daughters of Bilitis yang lengkap, dan buku-buku Lesbian/Woman serta Battered Wives. Salinan digital koleksi Phyllis dan Del bisa diakses di GLBT Historical Society. Mereka yang tertarik dapat mengirimkan permintaan akses ke reference@glbthistory.org

Polari

Untuk mempelajari Polari lebih lanjut, Anda bisa membaca esai sangat informatif berjudul The Feints and Jabs of Polari, Britain’s Gay Slangatau tonton reka ulang bahasa ini.

Queer Indonesia Archive

Queer Indonesia Archive adalah proyek arsip digital yang berkomitmen ke mengumpulkan, merawat, dan merayakan materi yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman orang-orang queer di Indonesia. Proyek ini dijalankan oleh sukarelawan, berfokus pada komunitas, dan bersifat nirlaba.

Lihat pameran kami yang lain di sini.

Created By
Queer Indonesia Archive
Appreciate